Daftar
Isi
BAB I
PENDAHULUAN
Tema perbandingan antara konsep sorga dan
juga konsep Nirwana yang dipilih oleh penulis merupakan suatu ide yang muncul
oleh karena penulis merasa dan ingin meneliti kemiripan dan kesamaan antara dua
ajaran yang menjadi konsep bagi Kristen dan juga Budha sendiri.
Penulis sendiri memiliki tujuan untuk
mendalami konsep ini karena penulis mau memaparkan dan menjelaskan tentang
keberadaan dan kenyataan sorga yang diakui dan dipercayai oleh orang Kristen
serta melihat apakah ada kesamaan dengan Nirwana yang dipercaya oleh orang
Budha. Sebab, penulis melihat bahwa setiap orang di dunia pasti akan meninggal
pada saatnya dan dengan demikian yang menjadi pertanyaannya adalah kemanakah
mereka itu??? Ini yang menjadi tolak ukur penulis untuk memaparkan paper ini,
karena konsep sorga dan Nirwana adalah suatu tujuan akhir hidup manusia dalam
kontek dan pemahaman ajaran agama masing-masing. Kiranya dengan pemaparan ini
maka pembaca akan memahami perbedaan pemahaman mengenai sorga dan Nirwana.
BAB II
KONSEP SORGA DALAM
AJARAN KRISTEN
Pada bab ini penulis akan memaparkan konsep
yang dimiliki oleh orang Kristen mengenai sorga. Namun penulis akan menjelaskan
konsep sorga itu melalui pemahaman etimologi serta terminologinya.
Etimologi sorga
Kata sorga berasal dapat dilihat dari asal bahasa Ibrani dan
Yunani yaitu ~yIm;v' (shamayim) dalam bahasa Ibrani dan ouvrano,j dalam bahasa Yunani. ~yIm;v' memiliki arti
yaitu surga/langit,
langit yaitu langit yang terlihat, langit
yaitu sebagai tempat tinggal para
bintang, sebagai alam semesta yang
terlihat, Surga sebagai tempat tinggal Allah Asalnya: dari akar kata yang berarti harus
tinggi. Dengan demikian sorga merupakan suatu keberadaan, sebuah tempat yang
terletak atau berada di atas dimana Allah bertempat tinggal. Sedangkan ouvrano,j memiliki
arti yaitu melompati bentangan langit dengan segala sesuatu yang terlihat di
dalamnya, alam semesta, dunia, langit udara atau langit, daerah di mana awan berkumpul,
dan di mana guntur dan kilat dihasilkan langit tempat bintang, daerah di atas
langit, tahta yang kekal dan sama sekali sempurna dimana Allah tinggal dan
makhluk surgawi lainnya. Dari pengertian ini maka dilihat ada kesamaan
pemahaman secara etimologi dari dua unsur kata ~yIm;v dan ouvrano,j bahwa sorga merupakan tempat tinggi, di atas
letaknya ataupun alam semesta yang merupakan tempat tinggal dan tahta Allah
yang kekal.[1]
Terminologi sorga
Ada penafsir dan sejarahwan yang memberikan
argument serta tanggapan mereka mengenai pengertian dari sorga itu sendiri:
1. Sering Surga
diartikan sebagai tempat yang dianggap dalam berbagai agama merupakan tempat
tinggal Tuhan atau dewa-dewa dan bila irang itu baik maka setelah mati ia akan
ke tempat itu, sering digambarkan sebagai keberadaan di atas langit.
2. Tempat atau
keadaan suatu kebahagiaan tertinggi.
3. Langit juga digunakan
dalam seruan sebagai pengganti untuk Allah[2]
Dalam pemahaman yang lainnya sorga juga diartikan
sebagai : Langit atmosfir, surga
dapat digunakan untuk menggambarkan troposfer-ruang yang melingkupi bumi dan
memperluas ke ketinggian sekitar enam mil. Hal ini berarti langit atmosfer
merupakan bumi menerima embun (Ul. 33:13), embun beku (Ayub 38:29), hujan dan
salju (Yesaya 55:10), angin (Ayub 26:13), dan guruh (1 Sam 2:10).. Awan berada
di langit atmosfer (Mazmur 147:8), dan burung-burung terbang di dalamnya (Kej.
1:20). Karena kebutuhan untuk kehidupan di bumi-embun, hujan, salju, angin
datang dari surga. Langit-alam, Surga
juga digunakan untuk menggambarkan alam atau dunia, matahari, bulan, bintang,
dan planet-planet. Tuhan menciptakan alam semesta (Kejadian 1:1; Ps. 33:6). Tempat tinggal Allah, surga ini adalah
tempat khusus di mana Allah tinggal, sebagai salam dalam doa Yesus menunjukkan
("Bapa kami yang di sorga"
Mat 6:9). Hal ini membuktikan bahwa di surga Allah bertakhta (Mzm. 2:4; Isa.
66:1); dari surga adanya penghakiman Allah (Kej. 19:24; Josh. 10:11), tetapi
berkat Tuhan juga datang dari sorga (Kel 16:4). Dari surga Allah melihat ke
atas umat-Nya (Ul. 26:15); dari surga Dia mendengar doa mereka (Mzm. 20:6); Dia
turun dari langit (Mazmur 144:5). Hal ini membuktikan juga bahwa di surga
rencana Allah yang berdaulat didirikan (Mzm. 119:89).[3]
Jadi, dengan melihat konsep pemahaman sorga
dari etimologi dan juga terminologi yang ada maka penulis mencoba mengkonsepkan
kesimpulan dari sorga yang diajarkan dalam keKristenan yaitu sorga merupakan
tempat dimana setiap orang Kristen yang telah percaya dan telah ditetapkan
untuk layak masuk ke dalam sorga setelah kematian mereka, tempat ini merupakan
tempat tinggal, tempat dimana Allah berada dan tempat dimana Ia meletakkan dan merancangkan
kerajaan-Nya serta letak yang pasti menurut penulis adalah di atas alam semesta
ini, di tempat yang tinggi dan kudus.
BAB II
KONSEP NIRWANA DALAM
AJARAN BUDHA
Setelah penulis memaparkan konsep surga yang
diajarkan dalam ajaran Kristen sekarang penulis akan memaparkan sebuah konsep
tentang keberadaan orang setelah kematian dalam ajaran Budha yang lebih dikenal
dengan Nirwana. Pada hakekatnya konsep nirwana antara ajaran Hindu dan Budha
berbeda dan tidak bisa disamaratakan.
Ada banyak definisi yang mungkin akan
menggambarkan makna dari apa yang disebut nirwana. Nirwana adalah sebuah penyataan
etis, sebuah kondisi di mana tidak ada lagi reinkarnasi, hasrat, dan
penderitaan. Kadang istilah ini juga didefinisikan sebagai kebebasan dari
kungkungan tubuh, kesadaran akan kedamaian yang paling agung, dan sebuah
kebahagiaan yang sempurna dan tanpa hasrat. Nirwana merupakan akhir dari karma.[4]
Ada juga yang berpendapat Nirwana itu adalah kebahagiaan tertinggi, suatu
keadaan kebahagiaan abadi yang luar biasa. Kebahagiaan Nirwana tidak dapat
dialami dengan memanjakan indera, melainkan dengan menenangkannya. Nirwana bukanlah suatu tempat. Nirwana bukanlah suatu ketiadaan atau kepunahan.
Nirwana bukanlah suatu surga. Tidak ada kata yang
cocok untuk menjelaskan Nirwana ini. Nirwana dapat direalisasi dengan cara melenyapkan
keserakahan (lobha), kebencian (dosa) dan kebodohan bathin (moha).[5] Ada juga yang
mengatakan bahwa menurut bunyinya arti Nirwana ialah pemadaman.[6]
Namun dalam
praktikanya, Nirwana memiliki dua proses keberadaan dimana sesorang dapat
mengalami dan merasakan Nirwana tersebut. Nirwana dapat dicapai ketika masih
hidup (Sa-upadisesa Nirwana)
dan ketika meninggal dunia (An-upadisesa
Nirwana).
Sebagai contohnya, ketika Pangeran Siddhartha mencapai Penerangan
Sempurna dan menjadi Samma Sambuddha, maka pada saat itu Beliau mengalami
Sa-upadisesa Nirwana. Ketika Buddha Gotama meninggal dunia
pada usia 80 tahun di Kusinara, maka Beliau mencapai An-upadisesa Nirwana atau Parinirwana.[7] Sesuai dengan adanya
dua tingkatan dalam pencapaian Nirwana tersebut, maka diberikan pula penjelasan
lebih lanjut mengenai pemadaman tersebut. 1. Pemadaman yang sempurna dari segala hawa nafsu, keadaan ini mulai
berlangsung pada saat tercapai kesucian yang sempurna dalam kehidupan
seseorang. 2. Terpadamnya skanda-skanda[8]
dengan sempurna, ini berarti proses keadaan badani dan rohani seseorang dan
tidak lagi berjalan terus, keadaan ini akan terjadi pada kematian orang yang
suci (Arahat).[9]
BAB III
KESIMPULAN
Dari hasil pemaparan di atas, penulis melihat tujuan dari pemaparan ini
sangat jelas yaitu baik sorga yang diajarkan dalam agama Kristen dan juga Nirwana
yang diajarkan dalam agama Budha sangat jauh berbeda. Konsep sorga merupakan
suatu tempat yang terletak di atas alam semesta ini dimana Allah tinggal dan
bernaung, sedangkan Nirwana bukanlah
suatu tempat atau alam kehidupan, melainkan keadaan yang terbebas dari semua
kekotoran batin yang menjadi sebab penderitaan dari kelahiran, usia tua,
penyakit, kematian, kepedihan, ratapan dan keputus-asaan, yaitu Keserakahan
(Lobha), Kebencian (Dosa), dan Kebodohan Batin (Moha). Dan bila dilihat
dari cara pencapaiannya pun sangat jauh berbeda. Dengan jelas juga adalam ajaran
Budha mereka tidak mengatakan bahwa Nirwana itu adalah sorga bagi orang Budha
sendiri.
Jadi, akhir hidup seorang Kristen dan seorang Budhis berbeda. Orang
Kristen yang telah ditetapkan akan meninggal dan masuk ke dalam sorga sedangkan
Nirwana menjadi suatu tempat atau keberadaan yang sangat membahagiakan saja.
DAFTAR PUSTAKA
Honig, A. G. Ilmu
Agama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000.
Thayer, Joseph Henry. A Greek-English Lexicon of
the New Testament. Grand Rapids:
Zondervan, 1962.
Brown, Francis; Driver, S. R. and Briggs, Charles A. A Hebrew and English Lexicon of
the Old Testament. Oxford: Clarendon,
1968.
Smith, Wilbur M. The
Biblical Doctrine of Heaven. Chicago: Moody,
1968.
http://id.wikipedia.org/wiki/Nirwana
http://www.wihara.com/forum/zen/1219-nirwana-menurut-filsafat-mahayana-zen.html
http://misi.sabda.org/riwayat_dan_ajaran_gautama
[1]
Wilbur M. Smith, The Biblical Doctrine of Heaven (Chicago: Moody, 1968),
p. 27
[2]
Francis Brown, S. R. Driver, and Charles A. Briggs, A Hebrew and English
Lexicon of the Old Testament (Oxford: Clarendon, 1968), p. 1029.
[3]
Joseph Henry Thayer, A Greek-English Lexicon of the New Testament (Grand
Rapids: Zondervan, 1962), p. 464
[4] http://misi.sabda.org/riwayat_dan_ajaran_gautama
[5]
http://www.wihara.com/forum/zen/1219-nirwana-menurut-filsafat-mahayana-zen.html
[6]
A. G. Honig Jr., Ilmu Agama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), hal. 210
[8]
Faktor-faktor penyusun tubuh fisik dan pikiran
[9]
A. G. Honig Jr., Ilmu Agama