Kamis, 10 Januari 2013

Artikel-artikel Theologi

Ada beberapa data yang bisa membantu jemaat awam dalam memahami dan menelaah kebenaran Firman Tuhan, kiranya dapat membantu dan memperluas sudut pandang kita sebagai orang percaya yang bertanggung jawab terhadap kebenaran Firman Tuhan...

Download tentang Bahasa Roh Menurut Calvin dan Impilkasinya Dalam Gereja Masa kini
DOWNLOAD
 
Download tentang Bagaimana Kaum Injili Memandang Gereja Katolik
DOWNLOAD
 
Download tentang Analisis Kritis Terhadap Konsep Kemungkinan Orang Percaya Dirasuk Setan
DOWNLOAD

Download tentang Konsep Allah Tritunggal
DOWNLOAD

Download tentang Katekismus Westminster dan Heidelberg
DOWNLOAD

 Download tentang Jodoh Ada di Tangan Tuhan
DOWNLOAD

Download tentang Undang-Undang AGAMA
DOWNLOAD

Download tentang Kejadian 1-2
DOWNLOAD

Download tentang arti kata KITA dalam Kej. 1:26
DOWNLOAD

Selamat mendownload.... GBU

Kamis, 29 November 2012

Analisa butir soal pilihan ganda

Baru muncul lagi  nih.... maklum banyak kegiatan dalam mengajar...
Now saya mau berbagi kepada teman-teman para pendidik untuk mempermudah menganalisis data dari soal pilihan ganda... kadang merepotkan sih kalau mengerjakan dan mengoreksi 30 jawaban dari pserta didik, ditambah lagi tuntutan kita menyusun laporan untuk hasil proses belajar mengajar, yang berupa file... kalau dulu sih, kita mengoreksinya menggunakan kertas transparan dan langsung memberikan nilai dari setiap jawaban, tapi bagaimana selalnjutnya ketika kita mau memasukkan data-data tersebut menjadi file??? ini saya beri solusi untuk teman-teman para pendidik.....

Silahkan mengunduh file ini (dalam format MS. Excel)....dan silahkan mengikuti aturan yang ada... 

Download Button

Jika masih kesulitan, please call me: 082342127334/081217888486
untuk analisa butir soal uraian masih dalam proses harap menunggu yah....

Sabtu, 30 Juli 2011

Konsep Paulus mengenai predestinasi dalam surat Efesus

Daftar isi

BAB I    2
PENDAHULUAN    2
BAB II    3
LATAR BELAKANG MASALAH    3
KONSEP PAULUS MENGENAI PREDESTINASI DALAM SURAT EFESUS    4
BAB III    9
KESIMPULAN    9
DAFTAR PUSTAKA    11


BAB I
PENDAHULUAN

Predestinasi merupakan pokok pembahasan dalam theology yang membahas karya Allah yang kekal dalam kedaulatanNya telah menentukan segala sesuatu dalam kedaulatan tersebut, sehingga para theolog membahas dan mendalami konsep tersebut dalam Alkitab sehingga tidak menjadi perguncingan dalam aliran-aliran agama tertentu yang kurang menyetujui konsep ini. Konsep ini semakin berkembang dan banyak dibahas dalam pandangan John Calvin.
Dalam pembahasan saat ini penulis akan mengulas bagaimana konsep Paulus mengenai predestinasi tersebut yang dalam teks aslinya menggunakan kata προορίζω (proorízō). Bagaimana dan apa maksud Paulus menggunakan istilah ini dalam surat-suratnya. Penulis akan membahas konsep predestinasi Paulus ini dengan bertitik tolak dalam surat Efesus, karena surat ini membahas cukup data mengenai predestinasi ini selain dari kitab Kisah Para Rasul, surat Roma, surat 1 Korintus yang juga menyinggung predestinasi namun dengan kontek yang berbeda dengan surat Efesus yang di dalamnya memiliki hubungan dengan keberadaan Kristus dan karya keselamatanNya bagi manusia.
Penulis akan terlebih dahulu mencoba untuk mendefenisikan apa itu predestinasi. Predestinasi adalah keputusan kehendak dan ketetapan Allah mengenai keadaan kekal semua orang.  Jadi, predestinasi berbicara tentang keadaan yang akan tetap dijalani oleh setiap orang sampai selama-lamanya, sebab tidak satu pun keadaan kekal manusia yang tidak diketahui oleh Allah.
BAB II
LATAR BELAKANG MASALAH

Konsep predestinasi ini dianggap telah lebih banyak dicetuskan dan digunakan oleh John Calvin, sebenarnya gagasan ini sudah digunakan sejak Agustinus dan dipertahankan oleh theolog patristik dan pada abad pertengahan oleh para reformis.
Perjanjian Lama sendiri juga membahas mengenai konsep ini yang terkait dengan panggilan atau pemilihan. Secara korporat Allah memilih bangsa Israel menjadi umat pilihanNya (Ul. 7:6-10), maupun secara individu Allah memilih orang-orang pilihanNya (Kel. 3; hakim-hakim 2:16 dsb.). pemilihan ini bertujuan untuk  memenuhi kehendak Allah, memberkati bangsa-bangsa dan melaksanakan penghakiman Allah.  Dalam Perjanjian Baru kata Yunani yang diterjemahkan bervariasi yaitu, mentakdirkan, dekrit, menentukan lebih dulu atau meramalkan yang menunjukkan berbagai kegiatan Allah yang berpusat pada Yesus Kristus sebagai jalan keselamatan dana termasuk manusia yang ada dalam rencana ini. Teks predestinasi klasik termasuk Rom. 8:28-30; Gal. 1:15; Ef. 1:4, 5; 2 Tes. 2:13, menunjukkan latar belakang pemahaman predestinasi yaitu ketidaktaatan dan pemberontakan manusia terhadap Allah sehingga mendapatkan hukuman dari Allah. Namun Allah tidak meninggalkan manusia tersebut. Implikasi dari pemilihan tersebut adalah rasa syukur dan melayani Allah serta sesama.
Dalam surat Paulus kepada jemaat di Efesus menjelaskan bahwa kedatangan Kristus, hidup-Nya, kematian, kebangkitan, dan kenaikan ke surga semua dipenuhi dalam rencana kekal Allah dan tujuannya untuk menebus melalui pemilihan-Nya siapa yang Dia telah “ditakdirkan” hidup kekal. Dalam pengajaran para rasul juga menemukan satu sudut pandang yang sama. Menurut Petrus pada hari Pentakosta, penyaliban Kristus merupakan bagian dari predestinasi Allah tetapi pada saat yang sama pun hal itu merupakan hasil dari pelanggaran hukuman manusia (Kis. 2:23). Stefanus dan rasul-rasul lainnya juga berbicara dengan istilah-istilah seperti ini.  Doktrin ini mendasari semua tulisan-tulisan Paulus, ia merangkum semua persoalan, menyatukan pengajaran dari Perjanjian Lama dan para penulis lain dari Perjanjian Baru, yang dapat dilihat dalam Rm. 8:29; 9-11; Ef. 1:1-12 dan dalam bagian-bagian ini Paulus menjelaskan dengan jelas bagaimana Allah bekerja dengan karya penetapan-Nya bagi umat pilihan-Nya. Namun surat-surat Paulus tidak mengungkapkan determinisme mekanistik dari predestinasi tersebut, Paulus menegaskan dalam semua tulisan-tulisannya bahwa mannusia bertanggung jawab atas tindakan-Nya, karena Dia yang melakukan meskipun semua manusia ada dalam bagian rencana tersebut yaitu ditetapkan oleh Allah. Pada saat yang sama, ia juga menekankan bahwa mannusia tidak dapat memahami hubungan antara predestinasi Allah dengan tanggung jawab manusia, untuk hubungan yang menggabungkan waktu dengan kekekalan yang dimengerti dengan yang dikondisikan oleh ruang dan waktu (Rm. 9:19-26).  Tidak ada yang bisa menjelaskan hubungan predestinasi Allah dalam sejrah juga mengungkapkan bagaimana Allah bekerja dalam dan melalui sejarah, kecuali sebagaimana Allah telah mengungkapkan dalam Kitab Suci.
KONSEP PAULUS MENGENAI PREDESTINASI DALAM SURAT EFESUS

Setelah kita melihat latar belakang pembahasan ini, penulis mencoba untuk memaparkan konsep Paulus mengenai predestinasi tersebut dalam suratnya kepada jemaat di Efesus. Seperti pada bab pendahuluan, penulis mengatakan bahwa konsep yang Paulus telah rangkumkan mengenai predestinasi dalam beberapa surat lainnya memiliki latar belakang dan pemahaman serta tujuan yang mungkin agak berbeda bila ditinjau lebih mendalam, dengan ini penulis memilih untuk meneliti konsep ini dalam surat Efesus.
Dalam Efesus 1:4-6, menjelaskan pemilihan Allah bagi diri-Nya sendiri. Ayat 4, Paulus menjelaskan bagaimana pemilihan Allah terjadi sebelum dunia dijadikan. Kata “for” (NIV) di awal ayat ini bukan sebagai harafiah terjemahan dari kata keterangan kathōs yang artinya “bahkan sebagai” (ASV, RSV) atau sama “seperti” (NASB) tetapi menunjukkan bahwa cara Allah memberkati orang percaya (ay. 3) adalah melalui karya Tritunggal, tetapi kata keterangan ini juga dapat memiliki arti kausal yang menjadi “karena” atau “sejauh” (lih. 4:32). Idenya adalah bahwa berkat-berkat rohani (1:3) bagi orang percaya adalah atas dasar karya Tritunggal. Berkat spiritual ini dimulai dan didasarkan pada pemilihan (Dia memilih kita), dimana Allah adalah subjek dan orang percaya adalah objek. Pemilihan adalah karya Allah yang berdaulat, keselamatan dari Allah dan bukan dari manusia (2:8-9). Meskipun itu adalah tindakan anugerah (Rm. 11:5-6), berdasarkan kehendak-Nya (Ef. 1:5), setiap orang bertanggung jawab untuk percaya (ay. 13). “Allah memilih kamu untuk diselamatkan… melalui keyakinan dalam kebenaran (2 Tes. 2:13). Di dalam Dia menunjukkan lingkup “ dalam Kristus” (Ef. 1:3), waktu pemilihan adalah kekal, dan tujuan pemilihan adalah bahwa orang percaya akan menjadi kudus dan tak bercacat dihadap-Nya untuk selama-lamanya.
Muncul kata kasih (ay. 5) merujuk pada suatu pertanyaan, apakah ini hasil dari modifikasi tulisan Paulus tentang predestinasi? Ada alasan-alasan yang menjelaskan peranan kata kasih tersebut: 1). dalam konteks ini frase kata dimodifikasi dengan menikuti kata-kata tindakan/action (ay. 3-4, 6, 8-10), 2). Lima kata lainnya yang menunjukkan “kasih” dalam surat ini merujuk pada cinta manusia daripada cinta ilahi, 3). Kata kasih ini lebih cocok dengan kesucian karena ini akan menunjukkan keseimbangan antara kekudusan dan kasih. Allah adalah kasih dank arena kasih maka Allah memilih dengan mewujudkan cinta dan kesucian-Nya. 
Penyebab pemilihan ini adalah penetapan Allah kepada orang yang percaya kepada Anak-Nya(1:5, 11). Kata προορίσας “ditandai sebelumnya” memiliki maksud bahwa mereka yang telah ditetapkan telah diadopsi sebagai putra Allah melalui Yesus Kristus sebagai jalan atas pengadopsiaan  tersebut. Konsep ini juga ditemukan dalam Rm. 8:15, 23, Gal. 4:4-7.
Tujuan akhir dari penetapan Allah adalah bahwa orang percaya akan memuji anugerah-Nya yang mulia (ay. 6). Ekspresi dari pujian tersebut juga diberikan setelah karya Anak (ay. 12) dan Roh (ay. 14). Kasih karunia-Nya yang mulia telah diberikan secara gratis kepada kita. Kata diberikan dengan gratis diterjemahkan dari kata ἐχαρίτωσεν sebuah kata kerja dari kasih karunia (kata benda) yaitu χαριτόω kata kerja ini hanya dipakai sekali dalam Perjanjian Baru (Luk. 1:28) secara harafiah kata ini menunjukkan untuk memuji rahmat-Nya yang mulia terhadap kita. Karena itu keslamatan adalah kasih karunia Allah, dengan demikian orang percaya harus memuji Dia untuk hal ini.
Istilah predestinasi ini tidak disebutkan secara eksplisit dalam Perjanjian Lama, namun ditemukan dalam tulisan-tulisan Qumran (1 Qh. 4:31; 15:13-22)  dan Paulus menggunakan kata kerja yang sama seperti ini di dalam Roma surat 1 Korintus, ide ini juga muncul dalam 1 Tesalonika dan 1 Petrus. Konsep ini berbeda dengan konsep Yunani tentang impersonalitas nasib (misalnya semua itu tertulis di bintang-bintang).  Ay. 4 kata ἡμᾶς tidak harus diartikan secara individualitas, yang dapat diartikan bahwa keselamatan orang percaya sudah jelas hingga akhirnya dan menyiratkan ada golongan orang yang tidak menerima keselamatan tersebut akan menerima kengerian. Hal ini juga menunjukkan bahwa kasih Allah nyata bagi mereka yang tidak terpilih. Untuk kata υἱοθεσίαν dapat dibandingkan dengan Gal. 4:5 yang merujuk kepada hubungan khusus sebagai orang percaya. Υἱός, yang dibedakan dari τέκνον (5:1) menunjukkan gagasan hak istimewa, artinya Tuhan tidak memilih kita di dalam Kristus -Dia mungkin telah memilih kita sebagai hamba-Nya- namun Dia juga diperuntukkan bagi kita melalui Kristus dan ini merupakan hak dari Anak Allah, yang mana membawa kita ke dalam persekutuan dengan-Nya dan tidak dalam hal usaha kita tetapi menurut kehendak-Nya yang mutlak namun tidak sewenang-wenang. Mengenai hubungan individual harus diperiksa lebih lanjut sebab Paulus mengatakan bahwa Allah menetapkan mereka dalam keMaha pengetahuan Allah. Beberapa theology berpendapat bahwa kata προέγνω (proegnō, ia mengetahui lebih dulu), disini harus didefenisikan hanya dalam keMaha pengetahuan Allah.  Yaitu Allah telah menetapkan keselamatan orang-orang pilihan-Nya untuk menjadi bagian dari komunitas yang ditebus. Hal ini sesuai dengan Kis. 26:5 dan 2 Pet. 3:17, dimana kata kerja προγινώσκειν jelas berarti “untuk mengetahui terlebih dahulu” menurut pemahaman ini Allah tidak memutuskan utnuk menyelamatkan beberapa orang, sebaliknya Allah telah menetapkan untuk menyelamatkan orang-orang yang ia tetapkan untuk dipilih-Nya. Kesan buruk tentang orang yang tidak dipilih sebenarnya tidak ditunjukkan dalam hal ini. Hal ini perlu dilihat dalam latara belakangnya yang terletak di Perjanjian Lama, dimana Tuhan “untuk mengetahu” (ידע) menunjuk pada perjanjian yang mana ditetapkannya kasih sayang-Nya pada orang-orang yang telah ia pilih (lih. Kej. 18:19 ; Kel. 33:17 ; 1 Sam. 2:12, dsb.).   demikian pula dalam Amos 3:2, pengetahuan Allah akan Israel berbeda dengan bangsa-bangsa yang lainnya yang hampir tidak menyadari atau mengerti bahwa Tuhan telah mengetahu segala bangsa di bumi. Tujuan teks ini menjelaskan bahwa Tuhan telah menetapkan perjanjian kasih-Nya hanya kepada orang Israel.
Dalam Roma 11:2, memberikan kesimpulan yang sama yaitu, Allah tidak menolak umat-Nya yang ia telah ketahui. Kata προέγνω disini berfungsi sebagai antonim untuk ἀπώσατο (apōsato, ia menolak), dengan kata lain, ayat ini mengatakan bahwa Allah tidak menolak umat-Nya kepada siapa telah ia tetapkan dalam kasih-Nya. Perhatikan bahwa objek dari kata προέγνω adalah pribadi, “orang-orang” (οὕς, hous) dan Allah menaruh kasih saying-Nya diatas mereka. Kata προέγνω dan προώρισεν (proōrisen, menetapkan) hampir bersinonim. Banyak sarjana (misalnya, Balz, 1971) mengamati bahwa satu-satunya perbedaan dalam teks ini bahwa Paulus menentukan tujuan penetapan Allah mengacu kepada predestinasi yaitu bahwa kita menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya (συμμόρφους τῆς εἰκόνος τοῦ υἱοῦ αὐτοῦ). Orang-orang yang telah dipanggil Allah telah dibenarkan-Nya (ἐδικαίωσεν, edikaiōsen), kata kerja ini menunjukkan aktifitas penyelamatan Allah kepada setiap orang percaya yang telah dibenarkan-Nya. Akhirnya, mereka yang dibenarkan Allah akan dimuliakan (ἐδόξασεν, edoxasen), kata ini memiliki bantuk aorist yang membuat diskusi mengenai tindakan masa lampau dengan tindakan masa depan yang luar biasa atau tidak biasa. Beberapa orang menduga bahwa bentuk aorist ini adalah ingressive, dengan alasan pemuliaan yang dimulai di kehidupan ini dan mencapai titik puncaknya di masa mendatang.
Dari penjelasan diatas menunjukkan bahwa konsep Paulus tentang predestinasi menggambarkan karya Allah yang besar, diman menuntut manusia yang juga aktif di dalam karya ini harus bertanggung jawab atas penetapan ini. Bagi Paulus, konsep yang ia telah rangkum dalam Perjanjian Lama dan disingkronkan dengan teks-teks pada masa dia hidup mengarahkan suatu doktrin mengnai predestinasi yang cukup luas dimana karya Allah yang menyatakan kasih-Nya kepada semua orang yang telah dipilih dan ditetapkan-Nya.

BAB III
KESIMPULAN

Dari penjelasan-penjelasan diatas, penulis mencoba menyimpulkan bagaimana konsep Paulus mengenai predestinasi. Bagi penulis ide-ide yang terkait erat dengan pemilihan dan predestinasi adalah elemen-elemen penting dalam struktur teologi pemikiran Paulus. Ia mengembangkannya dalam tema-tema disuratnya, bahkan sering menggunakan kata-kata ini, karena ide-ide ini merupakan suatu susunan penting dalam pemikiran Paulus. Ketika Paulus mengembangkan konsep ini, akhirnya menjadi suatu argumentasi teologis yang sangat kompleks, menjadi suatu doktrin yang tidak dapat dibantah lagi, yang dapat berhubungan erat dengan ide-ide lainya yaitu panggilan, tujuan hidup, nasehat serta karya Allah. Penulis mencoba meringkas konsep Paulus dalam beberapa point:
Pemilihan Allah dan tujuan-Nya, doktrin mengenai Allah merupakan rujukan pertama untuk memahami predestinasi ini karena Allah yang memilih dan pusat dari karya ini, segala sesuatu yang Paulus katakana berkaitan dengan ide dan pengelamannya kepada Allah. Dan dalam pemilihan ini Allah menunjukkan kasih-Nya, rahmat-Nya, karunia-Nya, dan kebijasanaan serta pengetahuan-Nya. Allah melakukan segala sesuatu menurut keputusan dan kehendak-Nya sendiri dan tujuannya adalah penebuasan, (Rm. 8:28).
Predestinasi Allah, Paulus menggunakan kata kerja προορίζω sebanyak 5 kali dengan arti dasar “menentukan sebelumnya”. Predestinasi merupakan kebijakan yang tersembunyi dari Allah. Paulus berbicara mengenai sesuatu yang rahasi, tersembunyi yang telah ditetapkan untuk kemuliaan orang-orang percaya. Kebijakan ini merupakan seluruh rencana keselamatan yang tidak diketahui oleh kekuatan jahat dunia ini , ini merupakan rencana kekal Allah. Tujuan kekal Allah untuk keselamatan memiliki efek melalui kematian Kristus.  Secara istimewa Paulus berbicara bahwa setiap-orang yang ditetapkan ini akan menjadi serupa dengan gambaran Kristus (Rm. 8:29) dan diadopsi ke dalam keluarga Allah (Ef. 1:5). Hal ini dilakukan sesuai dengan kehendak-Nya (Ef. 1:11) dan “dalam” atau “melalui” Kristus. Terkadang penggunaan kata predestinasi ini muncul dengan diikuti atau mengikuti kata sebelum dunia dijadikan, dengan demikian keMahatahuan Allah memiliki hubungan yang konsisten dengan predestinasi.  Paulus mengajarkan bahwa dalam semua urusan Allah dengan tatanan yang diciptakan Dia bekerja berdasarkan suatu rencana yang telah ditetapkan yang kekal sebagai mana diri Allah sendiri yaitu kekal. Dalam rencana ini memiliki tujuan yang pasti yaitu untuk menyatukan segala sesuatu di dalam Kristus (Ef. 1:10). Hal ini meliputi objek, sarana dan tujuan, objek termasuk malaikat, manusia dan Israel yang berarti termasuk pribadi dan karya Kristus serta proklamasi Injil. Tujuan akhir adalah pujian dari kasih karunia Allah yang mulia.
Masalah finalitas predestinasi, Paulus menyadari bahwa kesulitan dalam doktrin ini adalah tentang keadilan Allah dan tanggung jawab manusia atau kebebasan manusia. Bagi Paulus, Allah adalah adil dan tidak akan melakukan apa pun yang menunjukkan keperpihakan. Tuhan tidak akan tidak adil kalau Dia tidak memilih siapa pun, karena semua sama-sama layak menerima penghakiman Allah Karen dosa mereka. Jadi jelas ketidakadilan dalam doktrin in hanya semu dan tidak nyata.  Selain itu, Paulus berkata bahwa kasih karunia Allah yang membawa keselamatan telah muncul untuk semua orang (Tit. 2:11), dan dia pasti setuju dengan Petrus, “Tuhan tidak mau siapa pun yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat” (2 Pet. 3:9). Mengenai tanggung jawab manusi, Paulus menekankan kebebasan kedaulatan Allah membungkan pemberontakan manusia terhadap Allah bukan untuk membuat Allah masuk akal dan diktator. Paulus berpendapat bahwa tidak perlu kita tahu persis bagaimana Tuhan akan bekerja dalam dan melalui tindakan tanggung jawab kita. Keselamatan tidak bergantung pada setiap usaha manusia tetapi atas pemilihan kasih karunia Allah yang telah memilih orang percaya dalam Kristus sebelum dunia dijadikan.

DAFTAR PUSTAKA

Baan, G. J. TULIP: Lima poko Calvinisme. Surabaya: Momentum, 2009
Bromiley, G. W. The International Standard Bible Encyclopedia, Revised (3:946). Wm. B. Eerdmans, 1988.
Myers, A. C. (1987). The Eerdmans Bible dictionary. Rev., augm. translation of: Bijbelse encyclopedie. Rev. ed. 1975. Grand Rapids, Mich.: Eerdmans
Jamieson, R., Fausset, A. R., Fausset, A. R., Brown, D., & Brown, D. (1997). A commentary, critical and explanatory, on the Old and New Testaments. On spine: Critical and explanatory commentary. (Eph 1:5). Oak Harbor, WA: Logos Research Systems, Inc
Best, E. (1998). A critical and exegetical commentary on Ephesians. Edinburgh: T&T Clark International
Jamieson, R., Fausset, A. R., Fausset, A. R., Brown, D., & Brown, D. (1997). A commentary, critical and explanatory, on the Old and New Testaments. On spine: Critical and explanatory commentary. (Ro 8:29). Oak Harbor, WA: Logos Research Systems, Inc
Schreiner, T. R. (1998). Vol. 6: Romans. Baker exegetical commentary on the New Testament. Grand Rapids, Mich.: Baker Books
Cranfield, C. E. B. (2004). A critical and exegetical commentary on the Epistle to the Romans. London; New York: T&T Clark International

Senin, 13 September 2010

SEKlLAS PANDANG TENTANG ALlRAN FILSAFAT MODERN


SEKlLAS PANDANG TENTANG ALlRAN FILSAFAT MODERN


I. IDEALISME
a. Pengertian Pokok.
Idealisme adalah suatu ajaran/faham atau aliran yang menganggap bahwa
realitas ini terdiri atas roh-roh (sukma) atau jiwa. ide-ide dan pikiran atau yang
sejenis dengan i tu.
b. Perkembangan Idealisme.
Aliran ini merupakan aliran yang sangat penting dalam perkembangan
sejarah pikiran manusia. Mula-mula dalam filsafat Barat kita temui dalam bentuk
ajaran yang murni dari Plato. yang menyatakan bahwa alam, cita-cita itu adalah
yang merupakan kenyataan sebenarnya. Adapun alam nyata yang menempati ruang
ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam idea itu.
Aristoteles memberikan sifat kerohanian dengan ajarannya yang
menggambarkan alam ide sebagai sesuatu tenaga (entelechie) yang berada dalam
benda-benda dan menjalankan pengaruhnya dari benda itu. Sebenarnya dapat
dikatakan sepanjang masa tidak pernah faham idealisme hilang sarna sekali. Di
masa abad pertengahan malahan satu-satunya pendapat yang disepakati oleh
semua ahli pikir adalah dasar idealisme ini.
Pada jaman Aufklarung ulama-ulama filsafat yang mengakui aliran serba dua
seperti Descartes dan Spinoza yang mengenal dua pokok yang bersifat kerohanian
dan kebendaan maupun keduanya mengakui bahwa unsur kerohanian lebih penting
daripada kebendaan.
Selain itu, segenap kaum agama sekaligus dapat digolongkan kepada
penganut Idealisme yang paling setia sepanjang masa, walaupun mereka tidak
memiliki dalil-dalil filsafat yang mendalam. Puncak jaman Idealiasme pada masa
abad ke-18 dan 19 ketika periode Idealisme. Jerman sedang besar sekali
pengaruhnya di Eropah.
C. Tokoh-tokohnya.
1. Plato (477 -347 Sb.M)
2. B. Spinoza (1632 -1677)
3. Liebniz (1685 -1753)
4. Berkeley (1685 -1753)
5. Immanuel Kant (1724 -1881)
6. J. Fichte (1762 -1814)
7. F. Schelling (1755 -1854)
8. G. Hegel (1770 -1831)
II. MATERIALISME
a. Pengertian Pokok.
Materialisme merupakan faham atau aliran yang menganggap bahwa dunia
ini tidak ada selain materi atau nature (alam) dan dunia fisik adalah satu.
b. Perkembangan Materialisme.
Pada abad pertama masehi faham Materialisme tidak mendapat tanggapan
yang serius, bahkan pada abad pertengahan, orang menganggap asing terhadap
faham Materialisme ini. Baru pada jaman Aufklarung (pencerahan), Materialisme
mendapat tanggapan dan penganut yang penting di Eropah Barat.
Pada abad ke-19 pertengahan, aliran Materialisme tumbuh subur di Barat.
Faktir yang menyebabkannya adalah bahwa orang merasa dengan faham
Materialisme mempunyai harapan-harapan yang besar atas hasil-hasil ilmu
pengetahuan alam. Selain itu, faham Materialisme ini praktis tidak memerlukan dalildalil
yang muluk-muluk dan abstrak, juga teorinya jelas berpegang pada kenyataankenyataan
yang jelas dan mudah dimengerti.
Kemajuan aliran ini mendapat tantangan yang keras dan hebat dari kaum
agama dimana-mana. Hal ini disebabkan bahwa faham Materialisme ini pada abad
ke-19 tidak mengakui adanya Tuhan (atheis) yang sudah diyakini mengatur budi
masyarakat. Pada masa ini, kritikpun muncul di kalangan ulama-ulama barat yang
menentang Materialisme.
Adapun kritik yang dilontarkan adalah sebagai berikut :
1. Materialisme menyatakan bahwa alam wujud ini terjadi dengan sendirinya dari
khaos (kacau balau). Padahal kata Hegel. kacau balau yang mengatur bukan lagi
kacau balau namanya.
2. Materialisme menerangkan bahwa segala peristiwa diatur oleh hukum alam.
padahal pada hakekatnya hukum alam ini adalah perbuatan rohani juga.
3. Materialisme mendasarkan segala kejadian dunia dan kehidupan pada asal benda
itu sendiri. padahal dalil itu menunjukkan adanya sumber dari luar alam itu
sendiri yaitu Tuhan.
4. Materialisme tidak sanggup menerangkan suatu kejadian rohani yang paling
mendasar sekalipun.
c. Tokoh-tokohnya.
1. Anaximenes ( 585 -528)
2. Anaximandros ( 610 -545 SM)
3. Thales ( 625 -545 SM)
4. Demokritos (kl.460 -545 SM)
5. Thomas Hobbes ( 1588 -1679)
6. Lamettrie (1709 -1715)
7. Feuerbach (1804 -1877)
8. H. Spencer (1820 -1903)
9. Karl Marx (1818 -1883)
III. DUALISME
a. Pengertian Pokok.
Dualisme adalah ajaran atau aliran/faham yang memandang alam ini terdiri
atas dua macam hakekat yaitu hakekat materi dan hakekat rohani. Kedua macam
hakekat itu masing-masing bebas berdiri sendiri, sama azazi dan abadi.
Perhubungan antara keduanya itu menciptakan kehidupan dalam alam Contoh yang
paling jelas tentang adanya kerja sama kedua hakekat ini adalah terdapat dalam diri
manusia.
b. Tokoh-tokohnya.
1. Plato (427 -347 Sb.H)
2. Aristoteles (384 -322 Sb.H)
3. Descartes (1596 -1650)
4. Fechner (1802 -1887)
5. Arnold Gealinex
6 .Leukippos
7. Anaxagoras
8. Hc. Daugall
9. A. Schopenhauer (1788 -1860)
IV. EMPIRISME
a. Pengertian Pokok
Empirisme berasal dari kata Yunani yaitu "empiris" yang berarti pengalaman
inderawi. Oleh karena itu empirisme dinisbatkan kepada faham yang memilih
pengalaman sebagai sumber utama pengenalanan dan yang dimaksudkan
dengannya adalah baik pengalaman lahiriah yang menyangkut dunia maupun
pengalaman batiniah yang menyangkut pribadi manusia. Pada dasarnya Empirisme
sangat bertentangan dengan Rasionalisme. Rasionalisme mengatakan bahwa
pengenalan yang sejati berasal dari ratio, sehingga pengenalan inderawi merupakan
suatu bentuk pengenalan yang kabur. sebaliknya Empirisme berpendapat bahwa
pengetahuan berasal dari pengalaman sehingga pengenalan inderawi merupakan
pengenalan yang paling jelas dan sempurna.
Seorang yang beraliran Empirisme biasanya berpendirian bahwa pengetahuan
didapat melalui penampungan yang secara pasip menerima hasil-hasil penginderaan
tersebut. Ini berarti semua pengetahuan betapapun rumitnya dapat dilacak kembali
dan apa yang tidak dapat bukanlah ilmu pengetahuan. Empirisme radikal
berpendirian bahwa semua pengetahuan dapat dilacak sampai kepada pengalaman
inderawi dan apa yang tidak dapat dilacak bukan pengetahuan. Lebih lanjut
penganut Empirisme mengatakan bahwa pengalaman tidak lain akibat suatu objek
yang merangsang alat-alat inderawi, kemudian di dalam otal dipahami dan akibat
dari rangsangan tersebut dibentuklah tanggapan-tanggapan mengenai objek yang
telah merangsang alat-alat inderawi tersebut.
Empirisme memegang peranan yang amat penting bagi pengetahuan, malah
barangkali merupakan satu-satunya sumber dan dasar ilmu pengetahuan menurut
penganut Empirisme. Pengalaman inderawi sering dianggap sebagai pengadilan yang
tertinggi.
b. Tokoh-tokohnya.
1. Francis Bacon (1210 -1292)
2. Thomas Hobbes ( 1588 -1679)
3. John Locke ( 1632 -1704)
4. George Berkeley ( 1665 -1753)
5. David Hume ( 1711 -1776)
6. Roger Bacon ( 1214 -1294)
V. RASIONALISME.
a. Pengertian Pokok.
Rasionalisme adalah merupakan faham atau aliran atau ajaran yang
berdasarkan ratio, ide-ide yang masuk akal.Selain itu, tidak ada sumber kebenaran
yang hakiki.
Zaman Rasionalisme berlangsung dari pertengahan abad ke XVII sampai
akhir abad ke XVIII. Pada zaman ini hal yang khas bagi ilmu pengetahuan adalah
penggunaan yang eksklusif daya akal budi (ratio) untuk menemukan kebenaran.
Ternyata, penggunaan akal budi yang demikian tidak sia-sia, melihat tambahan ilmu
pengetahuan yang besar sekali akibat perkembangan yang pesat dari ilmu-ilmu
alam. Maka tidak mengherankan bahwa pada abad-abad berikut orang-orang yang
terpelajar Makin percaya pada akal budi mereka sebagai sumber kebenaran tentang
hidup dan dunia. Hal ini menjadi menampak lagi pada bagian kedua abad ke XVII
dan lebih lagi selama abad XVIII antara lain karena pandangan baru terhadap dunia
yang diberikan oleh Isaac Newton (1643 -1727). Berkat sarjana geniaal Fisika
Inggeris ini yaitu menurutnya Fisika itu terdiri dari bagian-bagian kevil (atom) yang
berhubungan satu sama lain menurut hukum sebab akibat. Semua gejala alam harus
diterangkan menurut jalan mekanis ini. Harus diakui bahwa Newton sendiri memiliki
suatu keinsyafan yang mendalam tentang batas akal budi dalam mengejar
kebenaran melalui ilmu pengetahuan. Berdasarkan kepercayaan yang makin kuat
akan kekuasaan akal budi lama kelamaan orang-orang abad itu berpandangan dalam
kegelapan. Baru dalam abad mereka menaikkan obor terang yang menciptakan
manusia dan masyarakat modern yang telah dirindukan, karena kepercayaan itu
pada abad XVIII disebut juga zaman Aufklarung (pencerahan).
b. Tokoh-tokohnya
1. Rene Descartes (1596 -1650)
2. Nicholas Malerbranche (1638 -1775)
3. B. De Spinoza (1632 -1677 M)
4. G.W.Leibniz (1946-1716)
5. Christian Wolff (1679 -1754)
6. Blaise Pascal (1623 -1662 M)
VI.FENOMENALISME
a. Pengertian Pokok.
Secara harfiah Fenomenalisme adalah aliran atau faham yang menganggap
bahwa Fenomenalisme (gejala) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran.
Seorang Fenomenalisme suka melihat gejala. Dia berbeda dengan seorang ahli ilmu
positif yang mengumpulkan data, mencari korelasi dan fungsi, serta membuat
hukum-hukum dan teori. Fenomenalisme bergerak di bidang yang pasti. Hal yang
menampakkan dirinya dilukiskan tanpa meninggalkan bidang evidensi yang
langsung. Fenomenalisme adalah suatu metode pemikiran, "a way of looking at
things".
Gejala adalah aktivitas, misalnya gejala gedung putih adalah gejala
akomodasi, konvergensi, dan fiksasi dari mata orang yang melihat gedung itu, di
tambah aktivitas lain yang perlu supaya gejala itu muncul. Fenomenalisme adalah
tambahan pada pendapat Brentano bahwa subjek dan objek menjadi satu secara
dialektis. Tidak mungkin ada hal yang melihat. Inti dari Fenomenalisme adalah tesis
dari "intensionalisme" yaitu hal yang disebut konstitusi.
Menurut Intensionalisme (Brentano) manusia menampakkan dirinya sebagai
hal yang transenden, sintesa dari objek dan subjek. Manusia sebagai entre au
monde (mengada pada alam) menjadi satu dengan alam itu. Manusia mengkonstitusi
alamnya. Untuk melihat sesuatu hal, saya harus mengkonversikan mata,
mengakomodasikan lensa, dan mengfiksasikan hal yang mau dilihat. Anak yang baru
lahir belum bisa melakukan sesuatu hal, sehingga benda dibawa ke mulutnya.
b. Tokoh-tokohnya.
1. Edmund Husserl (1859 -1938)
2. Max Scheler (1874 -1928)
3. Hartman (1882 -1950)
4. Martin Heidegger (1889 -1976)
5. Maurice Merleau-Ponty (1908 -1961)
6. Jean Paul Sartre (1905 -1980)
7. Soren Kierkegaard (1813 -1855)
VII. INTUSIONALISME
a. Pengertian Pokok.
Intusionalisme adalah suatu aliran atau faham yang menganggap bahwa
intuisi (naluri/perasaan) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Intuisi
termasuk salah satu kegiatan berfikir yang tidak didasarkan pada penalaran. Jadi
Intuisi adalah non-analitik dan tidak didasarkan atau suatu pola berfikir tertentu dan
sering bercampur aduk dengan perasaan.
b. Tokoh-tokohnya.
1. Plotinos (205 -270)
2. Henri Bergson (1859 -1994)
DAFTAR PUSTAKA
Beering, RF. 1966. Filsafat Dewasa ini. Jakarta. Penerbit Balai Pustaka.
Bertans, 1989. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta. Kanisius.
Brower, MAW. 1984. Psikologi Fenomenologi. Jakarta. Penerbit Gramedia.
--------,1986. Sejarah Filsafat Modern dan Sejaman. Bandung. Penerbit Alumni.
Kattsoff, Louis O. 1989. Pengantar Filsafat. Yogyakarta. Penerbit Bayu Indera.
Poedjiadi, Anna. 1987. Sejarah dan Filsafat Sains. Bandung. Penerbit
Cendrawasih.
Poedjawijatma. 1980. Pembimbing Ke arab Alam Filsafat. Jakarta. Pembangunan
Pranarya, AMW. 1987. Epistemologi Dasar : Suatu Pengantar. Jakarta. CSIS.
Pradja, Juhaya S. 1987. Aliran-aliran Filsafat Dari Rasionalisme Hingga
Sekularisme. Bandung. Alva Gracia.
Slamet Iman Santoso R.1977. Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan.
Jakarta. Sinar Hudaya.
Baker, Anton. 1984. Metode-metode Filsafat. Jakarta. Ghalia Indonesia.

Rabu, 07 April 2010

perbandingan konsep sorga dan konsep Nirwana


Daftar Isi





BAB I

PENDAHULUAN


Tema perbandingan antara konsep sorga dan juga konsep Nirwana yang dipilih oleh penulis merupakan suatu ide yang muncul oleh karena penulis merasa dan ingin meneliti kemiripan dan kesamaan antara dua ajaran yang menjadi konsep bagi Kristen dan juga Budha sendiri.
Penulis sendiri memiliki tujuan untuk mendalami konsep ini karena penulis mau memaparkan dan menjelaskan tentang keberadaan dan kenyataan sorga yang diakui dan dipercayai oleh orang Kristen serta melihat apakah ada kesamaan dengan Nirwana yang dipercaya oleh orang Budha. Sebab, penulis melihat bahwa setiap orang di dunia pasti akan meninggal pada saatnya dan dengan demikian yang menjadi pertanyaannya adalah kemanakah mereka itu??? Ini yang menjadi tolak ukur penulis untuk memaparkan paper ini, karena konsep sorga dan Nirwana adalah suatu tujuan akhir hidup manusia dalam kontek dan pemahaman ajaran agama masing-masing. Kiranya dengan pemaparan ini maka pembaca akan memahami perbedaan pemahaman mengenai sorga dan Nirwana.


BAB II

KONSEP SORGA DALAM AJARAN KRISTEN


Pada bab ini penulis akan memaparkan konsep yang dimiliki oleh orang Kristen mengenai sorga. Namun penulis akan menjelaskan konsep sorga itu melalui pemahaman etimologi serta terminologinya.

Etimologi sorga


Kata sorga berasal dapat dilihat dari asal bahasa Ibrani dan Yunani yaitu ~yIm;v' (shamayim) dalam bahasa Ibrani dan ouvrano,j dalam bahasa Yunani. ~yIm;v' memiliki arti yaitu surga/langit, langit yaitu langit yang terlihat, langit yaitu sebagai tempat tinggal para bintang, sebagai alam semesta yang terlihat,  Surga sebagai tempat tinggal Allah  Asalnya: dari akar kata yang berarti harus tinggi. Dengan demikian sorga merupakan suatu keberadaan, sebuah tempat yang terletak atau berada di atas dimana Allah bertempat tinggal. Sedangkan ouvrano,j memiliki arti yaitu melompati bentangan langit dengan segala sesuatu yang terlihat di dalamnya, alam semesta, dunia, langit udara atau langit, daerah di mana awan berkumpul, dan di mana guntur dan kilat dihasilkan langit tempat bintang, daerah di atas langit, tahta yang kekal dan sama sekali sempurna dimana Allah tinggal dan makhluk surgawi lainnya. Dari pengertian ini maka dilihat ada kesamaan pemahaman secara etimologi dari dua unsur kata ~yIm;v dan ouvrano,j bahwa sorga merupakan tempat tinggi, di atas letaknya ataupun alam semesta yang merupakan tempat tinggal dan tahta Allah yang kekal.[1]

Terminologi sorga


Ada penafsir dan sejarahwan yang memberikan argument serta tanggapan mereka mengenai pengertian dari sorga itu sendiri:
1.    Sering Surga diartikan sebagai tempat yang dianggap dalam berbagai agama merupakan tempat tinggal Tuhan atau dewa-dewa dan bila irang itu baik maka setelah mati ia akan ke tempat itu, sering digambarkan sebagai keberadaan di atas langit.
2.    Tempat atau keadaan suatu kebahagiaan tertinggi.
3.    Langit juga digunakan dalam seruan sebagai pengganti untuk Allah[2]
Dalam pemahaman yang lainnya sorga juga diartikan sebagai : Langit atmosfir, surga dapat digunakan untuk menggambarkan troposfer-ruang yang melingkupi bumi dan memperluas ke ketinggian sekitar enam mil. Hal ini berarti langit atmosfer merupakan bumi menerima embun (Ul. 33:13), embun beku (Ayub 38:29), hujan dan salju (Yesaya 55:10), angin (Ayub 26:13), dan guruh (1 Sam 2:10).. Awan berada di langit atmosfer (Mazmur 147:8), dan burung-burung terbang di dalamnya (Kej. 1:20). Karena kebutuhan untuk kehidupan di bumi-embun, hujan, salju, angin datang dari surga. Langit-alam, Surga juga digunakan untuk menggambarkan alam atau dunia, matahari, bulan, bintang, dan planet-planet. Tuhan menciptakan alam semesta (Kejadian 1:1; Ps. 33:6). Tempat tinggal Allah, surga ini adalah tempat khusus di mana Allah tinggal, sebagai salam dalam doa Yesus menunjukkan ("Bapa kami yang di sorga" Mat 6:9). Hal ini membuktikan bahwa di surga Allah bertakhta (Mzm. 2:4; Isa. 66:1); dari surga adanya penghakiman Allah (Kej. 19:24; Josh. 10:11), tetapi berkat Tuhan juga datang dari sorga (Kel 16:4). Dari surga Allah melihat ke atas umat-Nya (Ul. 26:15); dari surga Dia mendengar doa mereka (Mzm. 20:6); Dia turun dari langit (Mazmur 144:5). Hal ini membuktikan juga bahwa di surga rencana Allah yang berdaulat didirikan (Mzm. 119:89).[3]
Jadi, dengan melihat konsep pemahaman sorga dari etimologi dan juga terminologi yang ada maka penulis mencoba mengkonsepkan kesimpulan dari sorga yang diajarkan dalam keKristenan yaitu sorga merupakan tempat dimana setiap orang Kristen yang telah percaya dan telah ditetapkan untuk layak masuk ke dalam sorga setelah kematian mereka, tempat ini merupakan tempat tinggal, tempat dimana Allah berada dan tempat dimana Ia meletakkan dan merancangkan kerajaan-Nya serta letak yang pasti menurut penulis adalah di atas alam semesta ini, di tempat yang tinggi dan kudus.



BAB II

KONSEP NIRWANA DALAM AJARAN BUDHA


Setelah penulis memaparkan konsep surga yang diajarkan dalam ajaran Kristen sekarang penulis akan memaparkan sebuah konsep tentang keberadaan orang setelah kematian dalam ajaran Budha yang lebih dikenal dengan Nirwana. Pada hakekatnya konsep nirwana antara ajaran Hindu dan Budha berbeda dan tidak bisa disamaratakan.
Ada banyak definisi yang mungkin akan menggambarkan makna dari apa yang disebut nirwana. Nirwana adalah sebuah penyataan etis, sebuah kondisi di mana tidak ada lagi reinkarnasi, hasrat, dan penderitaan. Kadang istilah ini juga didefinisikan sebagai kebebasan dari kungkungan tubuh, kesadaran akan kedamaian yang paling agung, dan sebuah kebahagiaan yang sempurna dan tanpa hasrat. Nirwana merupakan akhir dari karma.[4] Ada juga yang berpendapat Nirwana itu adalah kebahagiaan tertinggi, suatu keadaan kebahagiaan abadi yang luar biasa. Kebahagiaan Nirwana tidak dapat dialami dengan memanjakan indera, melainkan dengan menenangkannya. Nirwana bukanlah suatu tempat. Nirwana bukanlah suatu ketiadaan atau kepunahan. Nirwana bukanlah suatu surga. Tidak ada kata yang cocok untuk menjelaskan Nirwana ini. Nirwana dapat direalisasi dengan cara melenyapkan keserakahan (lobha), kebencian (dosa) dan kebodohan bathin (moha).[5] Ada juga yang mengatakan bahwa menurut bunyinya arti Nirwana ialah pemadaman.[6]
Namun dalam praktikanya, Nirwana memiliki dua proses keberadaan dimana sesorang dapat mengalami dan merasakan Nirwana tersebut. Nirwana dapat dicapai ketika masih hidup (Sa-upadisesa Nirwana) dan ketika meninggal dunia (An-upadisesa Nirwana). Sebagai contohnya, ketika Pangeran Siddhartha mencapai Penerangan Sempurna dan menjadi Samma Sambuddha, maka pada saat itu Beliau mengalami Sa-upadisesa Nirwana. Ketika Buddha Gotama meninggal dunia pada usia 80 tahun di Kusinara, maka Beliau mencapai An-upadisesa Nirwana atau Parinirwana.[7] Sesuai dengan adanya dua tingkatan dalam pencapaian Nirwana tersebut, maka diberikan pula penjelasan lebih lanjut mengenai pemadaman tersebut. 1. Pemadaman yang sempurna dari segala hawa nafsu, keadaan ini mulai berlangsung pada saat tercapai kesucian yang sempurna dalam kehidupan seseorang. 2. Terpadamnya skanda-skanda[8] dengan sempurna, ini berarti proses keadaan badani dan rohani seseorang dan tidak lagi berjalan terus, keadaan ini akan terjadi pada kematian orang yang suci (Arahat).[9]



BAB III

KESIMPULAN


Dari hasil pemaparan di atas, penulis melihat tujuan dari pemaparan ini sangat jelas yaitu baik sorga yang diajarkan dalam agama Kristen dan juga Nirwana yang diajarkan dalam agama Budha sangat jauh berbeda. Konsep sorga merupakan suatu tempat yang terletak di atas alam semesta ini dimana Allah tinggal dan bernaung, sedangkan Nirwana bukanlah suatu tempat atau alam kehidupan, melainkan keadaan yang terbebas dari semua kekotoran batin yang menjadi sebab penderitaan dari kelahiran, usia tua, penyakit, kematian, kepedihan, ratapan dan keputus-asaan, yaitu Keserakahan (Lobha), Kebencian (Dosa), dan Kebodohan Batin (Moha). Dan bila dilihat dari cara pencapaiannya pun sangat jauh berbeda. Dengan jelas juga adalam ajaran Budha mereka tidak mengatakan bahwa Nirwana itu adalah sorga bagi orang Budha sendiri.
Jadi, akhir hidup seorang Kristen dan seorang Budhis berbeda. Orang Kristen yang telah ditetapkan akan meninggal dan masuk ke dalam sorga sedangkan Nirwana menjadi suatu tempat atau keberadaan yang sangat membahagiakan saja.



DAFTAR PUSTAKA


Honig, A. G.  Ilmu Agama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000.
Thayer, Joseph Henry. A Greek-English Lexicon of the New Testament. Grand Rapids: Zondervan, 1962.
Brown, Francis; Driver, S. R. and Briggs, Charles A. A Hebrew and English Lexicon of the Old Testament. Oxford: Clarendon, 1968.
Smith, Wilbur M. The Biblical Doctrine of Heaven. Chicago: Moody, 1968.
http://id.wikipedia.org/wiki/Nirwana
http://www.wihara.com/forum/zen/1219-nirwana-menurut-filsafat-mahayana-zen.html
http://misi.sabda.org/riwayat_dan_ajaran_gautama



[1] Wilbur M. Smith, The Biblical Doctrine of Heaven (Chicago: Moody, 1968), p. 27
[2] Francis Brown, S. R. Driver, and Charles A. Briggs, A Hebrew and English Lexicon of the Old Testament (Oxford: Clarendon, 1968), p. 1029.
[3] Joseph Henry Thayer, A Greek-English Lexicon of the New Testament (Grand Rapids: Zondervan, 1962), p. 464
[4] http://misi.sabda.org/riwayat_dan_ajaran_gautama
[5] http://www.wihara.com/forum/zen/1219-nirwana-menurut-filsafat-mahayana-zen.html
[6] A. G. Honig Jr.,  Ilmu Agama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), hal. 210
[7] http://id.wikipedia.org/wiki/Nirwana
[8] Faktor-faktor penyusun tubuh fisik dan pikiran
[9] A. G. Honig Jr.,  Ilmu Agama